Selasa, 08 November 2011

Mendahulukan Maslahat Tertinggi dan Mengutamakan Keburukan Terkecil

“Dalam beberapa ayat al-Qur’an ada anjuran agar (kaum Muslimin) mendahulukan maslahat yang lebih besar dari dua maslahat atau mendahulukan mafsadah yang lebih kecil dari dua mafsadah serta ada larangan dari (melakukan) sesuatu yang mafsadahnya (keburukannya) lebih dominan daripada maslahatnya.”
Diantara pokok agama yang wajib diketahui oleh kaum Muslimin adalah agama ini diturunkan oleh Allah azza wa jalla untuk merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkan atau meminimalisir keburukan. Oleh karena itu Islam memerintahkan bahkan mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan berbagai perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung kekerabatan dan lain sebagainya. Islam juga melarang bahkan mengharamkan semua keburukan.
Adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaati syariat Allah azza wa jalla dengan melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dan menjauhi semua keburukan yang dilarang. Namun, terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syariat. Artinya dia harus memilih. Lalu mana yang harus dipilih ? Inilah yang dimaksud perkataan penyusun kitab al-Qawa’idul Hisan al-Muta’alliqah bi tafsiril Qur’an di atas.
Dari perkataan di atas kita simpulkan tiga point penting :
1.  Apabila ada dua kebaikan atau lebih berbenturan, maksudnya kebaikan-kebaikan itu tidak mungkin kita lakukan semuanya, karena suatu sebab, maka kita harus memilih. Mana yang harus dilakukan ? Yang harus kita pilih adalah yang terbaik dari berbagai kebaikan yang berbenturan itu. Ini menunjukan bahwa nilai amal-amal shalih yang diperintahkan oleh Allah azza wa jalla itu tidak sama, sebagaimana firman Allah azza wa jalla
"Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). (QS. Al-Hadid :10)
Dan firmanNya :
 “Apakah orang-orang yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu anggap sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah ?” (QS. At-Taubah : 19)

Dan juga firmanNya :
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[340] satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[341] dengan pahala yang besar,” (QS. An-Nisa : 95)
2.  Apabila dua keburukan atau lebih berbenturan, maksudnya karena suatu hal dan kondisi, berbagai keburukan itu tidak bisa dijauhi semuanya, namun kita harus melakukan salah satunya. Lalu mana yang kita pilih ? Yang harus kita pilih adalah yang paling ringan dampak buruknya.
Penerapan kaidah ini bisa kita temukan dalam banyak tempat, diantaranya
a.  Dalam firman Allah azza wa jalla :
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah : “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (QS. Al-Baqarah : 217)
Allah azza wa jalla menjelaskan bahwa celaan kaum kafir terhadap kaum Muslimin atas peperangan di bulan-bulan yang terhormat – meski ada keburukannya namun apa yang dilakukan kafir Quraisy yang telah menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah dan menghalangi manusia dari Masjid Haram serta mengusir penduduknya lebih besar keburukannya (dosanya) di sisi Allah daripada berperang di bulan-bulan yang terhormat atau suci. Jadi di sini terdapat dua mafsadah (keburukan) yaitu :
Pertama : Tetap eksisinya orang-orang kafir Quraisy yang menghalangi kaum Muslimin dari jalan Allah azza wa jalla, mengusir dan mendzalimi kaum Muslimin di sana serta kekufuran dan kesyirikan mereka.
Kedua : Menyerang mereka pada bulan Haram.
Mana di antara kedua mafsadah ini yang lebih buruk ? Allah azza wa jalla menjelaskan dengan gamblang bahwa yang lebih buruk adalah yang pertama. Sehingga ketika harus memilih, maka yang kedualah yang dipilih, karena dampak buruknya lebih sedikit.
b. Dalam firman Allah azza wa jalla
“Dan kalau bukanlah karena laki-laki Mukmin dan perempuan-perempuan Mukmin yang tidak kamu ketahui (keberadaan mereka, yang dikhawatirkan) kamu membunuh mereka sehingga menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka).” (QS. Al-Fath : 25)                                                                                                                                    
Dalam ayat ini Allah azza wa jalla menahan kaum Muslimin dari keinginan mereka untuk menyerang penduduk kuffar di Makkah yang telah menghalangi mereka memasuki Masjidil Haram. Ini untuk suatu tujuan yang lebih tinggi yaitu supaya kaum Muslimin dan Muslimat yang masih menyembunyikan keimanannya dan masih tinggal di Makkah tidak menjadi korban peperangan. Kalau mereka menjadi korban perang, maka tentu orang yang menyebabkannya akan merasa menyesal atau turut berdosa, sebagaimana dijelaskan para Ulama ahli tafsir. Oleh karena itulah Allah azza wa jalla menghalangi penyerangan itu, meski faktor pemicunya sudah ada yaitu perilaku kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin dari Masjidil Haram.
Jadi di sini ada dua keburukan, yaitu :
Pertama : tidak memerangi atau membiarkan kaum kuffar yang telah menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Makkah.
Kedua : Memerangi mereka dengan resiko ikut terbunuhnya kaum Muslimin yang masih tinggal di Makkah dan menyembunyikan keimanan mereka karena belum mampu hijrah ke Madinah. Mereka akan ikut terbunuh karena sulit membedakan antara penduduk Makkah yang sudah beriman dan masih kafir.
Dari kedua keburukan ini, yang paling sedikit dampak buruknya adalah tidak memerangi mereka.
Termasuk dalam pelaksanaan kaidah yang kedua ini yaitu semua kejadian-kejadian atau kesepakatan-kesepakatan dalam Shulh (perjanjian damai) Hudaibiyah, di mana tercantum butir-butir perdamaian yang harus dipatuhi, yang dzahirnya sangat merugikan kaum Muslimin, akan tetapi itu ternyata berbuah kemenangan bagi kaum Muslimin. Termasuk juga larangan terhadap kaum Muslimin untuk berperang sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Karena berperang dalam kondisi seperti ini lebih besar dampak buruknya daripada tetap bersabar.
3. Jika ada kebaikan dan keburukan sekaligus, namun keburukannya lebih kuat atau lebih dominan, maka dilarang melakukannya.
Ini merupakan bagian terakhir, yaitu apabila maslahat dan mfsadah berkumpul, maka maslahat harus didahulukan ketika mafsadah tidak mendominasi, jika sebaliknya, maka mafsadah harus diutamakan, meskipun harus meninggalkan atau menghilangkan maslahah.
Misalnya dalam firman Allah azza wa jalla :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanyal lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah : 219)
Ini merupakan alasan umum yaitu segala sesuatu yang bahayanya (mudharat) dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya, maka dengan hikmah-Nya, Allah melarang para hamba-Nya dan mengharamkannya.
Demikianlah kaidah-kaidah ini, disamping sebagai kaidah yang ditetapkan secara syar’i juga sesuai dengan logika manusia yang normal serta bisa diamalkan dalam masalah-masalah agama maupun dunia. Wallahu a’lam.

Sumber : Majalah as-Sunnah No. 06 Thn. XV Dzulqa’idah 1432 H, Hal. 14-16





Tidak ada komentar:

Posting Komentar